Laman

Kamis, 20 Desember 2012

Cas Flow Langit dalam Surat Al Maiidah [5] : 1 (bagian 1)

Assalaamu 'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh,
Selamat pagi anak2ku dan sahabat2ku, Alhamdulillah kita masih bisa melanjutkan tadarus/kajian al-Qur'an dengan metode tafsir perkata, dan penjelasan dari ayat per ayat, diulang-ulang agar benar-benar bisa diingat, dipahami secara baik dan benar.

Pada ayat sebelumnya panggilan Allah kepada orang-orang mengakui keesaan-Nya yakni beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan menjalankan sunnah-sunnahnya. Kemudian kita disuruh untuk menyempurnakan perjanjian-perjanjian Allah yang sudah diteguhkan, yaitu beriman kepada syariah-syariah agama serta meyakininya. Dan disuruh untuk memenuhi perjanjian yang dibuat di antara kita, amanah, akad jual beli dan lain sebagainya, yaitu hal-hal yang tidak bertentangan dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Allah telah menghalalkan bagi kita binatang ternak, unta, sapi, dan domba kecuali apa-apa yang diharamkan bagi kita, yaitu bangkai, darah, dan apa-apa yang diharamkan untuk diburu ketika kita dalam keadaan ihram, dan lain-lain. Sesungguhnya Allah menentukan hukum sesuai dengan kehendak-Nya, sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.  Maka pada ayat lanjutan ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

QS AL-MAA-IDAH 5: 02.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا ۗ وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا ۗ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا ۢ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى ۖ وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۗ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
YAAA-AYYUHAL-LADZIINA AAMANUU LAA TUḪILLUU SYA-'AAA-IRALLOOHI WALASY-SYAHROL-ḪAROOMA WALAL-HADD-YA WALAL-QOLAAA-IDA WALAAA AAAM-MIINAL-BAITAL-ḪAROOMA YABBTAGHUUNA FADHLAM-MIR-ROBBIHIM WARIDHWAANAN, WA-IDZAA ḪALALTUM FASHTHOODUU, WALAA YAJJRIMANNAKUM SYANA-AANU QAUMIN AN SHODDUUKUM 'ANIL-MASJIDIL-ḪAROOMI AN TA'TADUU, WATA-'AAWANUU 'ALAL-BIRRI WAT-TAQQWAA, WALAA TA-'AAWANUU 'ALAL-ITSMI WAL-'UDDWAANI, WAT-TAQULLOOHA, INNALLOOHA SYADIIDUL-'IQOOBI. = Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalaa-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil-Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Keterangan: [389] syi'ar Allah ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji dan tempat-tempat mengerjakannya.  [390] maksudnya antara lain ialah: bulan Haram (bulan Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekkah) dan Ihram, maksudnya ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.   [391] ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadah haji.  [392] ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.   [393] dimaksud dengan karunia ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keridhaan dari Allah ialah: pahala amalan haji.

"YAAA-AYYUHAA=wahai" "AL-LADZIINA=orang-orang yang" "AAMANUU=mereka beriman" "LAA=jangan" "TUḪILLUU=kalian melanggar" "SYA-'AAA-IRALLOOHI=syi'ar-syi'ar Allah" jamak sya`iiratun; artinya upacara-upacara agama-Nya. Melanggar yaitu dengan berburu di waktu ihram, "WALAA=dan jangan" berperang pada "ASY-SYAHROL-ḪAROOMA=bulan-bulan haram" "WALAA=dan jangan" ganggu, "AL-HADD-YA=hewan kurban" dam, yakni hewan yang dihadiahkan buat tanah suci, "WALAA=dan jangan" ganggu "AL-QOLAAA-IDA=hewan-hewan kurban"  jamak dari qilaadatun; artinya binatang yang diberi kalung dengan kayu-kayuan yang terdapat di tanah suci sebagai tanda agar  ia aman, maka janganlah ada yang mengganggu baik hewan-hewan itu sendiri maupun para pemiliknya "WALAAA=dan jangan" ganggu  "AAAM-MIINA=orang-orang yang mengunjungi" "AL-BAITAL-ḪAROOMA=Masjid al-Haram" dengan memerangi mereka, "YABBTAGHUUNA=mereka mencari" "FADHLAN=karunia" "MIN=dari" "ROBBIHIM=Tuhan mereka" "WARIDHWAANAN=dan keridhaan" dari Allah, "WA-IDZAA=dan apabila" "ḪALALTUM=kalian telah selesai" berihram, "FASHTHOODUU=maka berburulah kalian"  perintah di sini berarti ibahah atau memperbolehkan, "WALAA=dan jangan" "YAJJRIMANNAKUM=sekali-kali membuat kalian berdosa". "SYANA-AANU=kebencian" dibaca syana-aanu atau syan-aanu berarti kebencian atau kemarahan, "QAUMIN=suatu kaum" kepada kalian, "AN SHODDUUKUM=karena mereka menghalangi" 'ANIL-MASJIDIL-ḪAROOMI=dari Masjid al-Haram" "AN=yaitu bahwa" "TA'TADUU=kalian berbuat melampaui batas" kepada mereka dengan pembunuhan dan sebagainya. "WATA-'AAWANUU=dan tolong-menolonglah kalian" 'ALAL-BIRRI=dalam kebaikan" dalam mengerjakan yang dititahkan "WAT-TAQQWAA=dan takwa" dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang, "WALAA=dan jangan" "TA-'AAWANUU=kalian tolong menolong" pada ta`aawanu dibuang salah satu di antara dua ta pada asalnya, 'ALAL-ITSMI=dalam perbuatan dosa" atau maksiat, "WAL-'UDDWAANI=dan permusuhan" artinya melampaui batas-batas ajaran Allah, "WAT-TAQULLOOHA=dan bertakwalah kalian kepada Allah" takutlah kamu kepada azab siksa-Nya dengan menaati-Nya, "INNALLOOHA=sungguh Allah" "SYADIIDU=sangat keras" "AL-'IQOOBI=siksa-Nya" bagi orang yang menentang-Nya.

Ayat yang lalu memerintah dan ayat melarang. Demikian kebiasan al-Qur'an menyebut dua hal yang bertolak belakang secara bergantian ditemukan lagi di sini. Dapat juga dikatakan bahwa ayat yang lalu berbicara secara umum, termasuk uraian tentang apa yang dikecualikan-Nya, sedang ayat ini memerinci apa yang disinggung di atas. Perincian itu dimulai dengan hal-hal yang berkaitan dengan haji dan umrah, yang pada ayat lalu telah disinggung, yakni tidak menghalalkan berburu ketika sedang dalam keadaan berihram. Di sini, sekali lagi Allah menyeru orang-orang beriman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syiar-syiar Allah dalam ibadah haji dan umrah bahkan semua ajaran agama, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, yakni Dzulqa'idah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab, jangan mengganggu binatang al-hadya, yakni binatang yang akan disembelih di Mekkah dan sekitarnya, dan yang dijadikan sebagai persembahan kepada Allah, demikian juga jangan mengganggu al-qalaa'id, yaitu binatang-binatang yang dikalungi lehernya sebagai tanda bahwa ia adalah persembahan yang sangat istimewa, dan jangan juga mengganggu para pengunjung Baitulllah, yakni siapa pun yang ingin melaksanakan ibadah haji atau umrah sedang mereka melakukan hal tersebut dalam keadaan mencari dengan sungguh-sungguh karunia keuntungan duniawi dan keridhaan ganjaran ukhrawi dari Tuhan mereka.

Apabila kamu telah bertahallul menyelesaikan ibadah ritual haji atau umrah, atau karena satu dan lain sebab sehingga kamu tidak menyelesaikan ibadah kamu, misalnya karena sakit atau terkepung musuh, maka berburulah jika kamu mau.

Dan janganlah sekali-kali kebencian yang telah mencapai puncaknya sekalipun kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil-Haram, mendorong kamu berbuat aniaya kepada mereka atau selain mereka. Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan, yakni segala bentuk dan macam hal yang membawa kepada kemaslahatan duniawi dan atau ukhrawi dan demikian juga tolong menolonglah dalam ketakwaan, yakni segala upaya yang dapat menghindarkan bencana duniawi dan atau ukhrawi, walaupun dengan orang-orang yang tidak seiman dengan kamu, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Kata (شعائر) sya-'aa-ir adalah jamak dari kata (شعيرة) sya-'irah yang berarti tanda, atau bisa juga dinamai syi'ar. Ketika ditafsirkan QS al-Baqarah 2: 158, dikemukakan bahwa (شعار) syi'ar seakar dengan kata (شعور) syu-'uur yang berarti rasa. Yakni tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan Allah. Tanda-tanda itu dinamakan syi'ar karena ia seharusnya menghasilkan rasa hormat dan agung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Ada bermacam-macam tanda-tanda itu. Ada yang merupakan termpat seperti Shafa dan Marwah serta Masy-'aril-Haram, ada juga berupa waktu, seperti bulan-bulan Haram, dan ada lagi dalam wujud sesuatu, seperti al-Hadya dan al-qalaa'id, yakni binatang kurban yang dipersembahkan kepada Allah.

Larangan mengganggu al-Qalaa'id—selain yang dikemukakan di atas—dapat juga dipahami dalam arti mengambil kalung-kalungnya. Kalung-kalung yang dimaksud antara lain dengan mengikat sandal kulit dan mengalungkan pada leher binatang, serupa dengan kalung di leher wanita. Sandal yang menjadi kalung itu boleh jadi diminati oleh fakir miskin. Maka, ayat ini melarang mengambilnya. Di sisi lain, dapat juga dipahami sebagai larangan keras mengganggu binatang itu, dalam arti menghalangi tujuan kehadirannya ke Masjidil-Haram sebagai persembahan karena, jika kalungnya saja sudah tidak boleh diambil, apalagi binatangnya. Memang biasanya binatang yang dikalungi merupakan binatang pilihan untuk dipersembahkan, berbeda dengan al-hadya secara umum.

Kata (حرام) ḫarâm pada mulanya berarti terhormat. Sesuatu yang dihormati biasanya lahir sebagai penghormatan terhadap aneka larangan yang berkenaan dengannya. Jika kita menghormati orangtua, maka kita tidak boleh memperlakukannya sama dengan perlakuan kepada sahabat atau adik kita. Dari sini, kata ḫarâm diartikan dengan "larangan". Bulan Haram adalah bulan yang harus dihormati. Karena itu, terdapat sekian banyak hal yang terlarang dilakukan pada bulan-bulan tersebut. Tanah Haram pun demikian.

Tanah Haram adalah Mekkah dan sekitarnya. Di sana, dilarang memburu binatang dan mencabut pepohonannya. Nabi Ibrahim 'alaihis salam telah menggariskan dan meletakkan tanda-tanda batasnya. Sebelum Rasul shallallahu 'alaihi wasallam berhijrah ke Madinah, orang-orang musyrik Mekkah mulai menghilangkan tanda-tanda itu, walau kemudian mereka meletakkannya kembali. Pada tahun keberhasilan Rasul shallallahu 'alaihi wasallam memasuki kembali kota Mekkah (Fathu Makkah), beliau mengutus beberapa orang untuk memperbaharui tanda-tanda batas itu. Dan, pada masa pemerintahan 'Umar Bin Khaththab, beliau kembali memerintahkan empat orang untuk memperjelasnya sesuai dengan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Tanah Haram dimulai dari Ka'bah ke jurusan Madinah sekitar empat mil sampai desa (تنعيم) Tan'im (Tan'im sendiri bukan Tanah Haram). Dari Ka'bah menuju ke arah Irak sepanjang delapan mil sampai ke suatu tempat yang dinamai (المقطع) al-Maqqtha'. Dari Ka'bah menuju Tha'if sepanjang sembilan mil berakhir dengan satu tempat yang dinamai (جعرانة) Ju'ranah. Sementara yang ke arah Yaman sepanjang tujuh mil dan berakhir pada satu tempat yang dinamai (أضاة لبن) Adhat libn, dan dari jalan menuju Jeddah sepuluh mil berakhir sampai dengan (حديبية) Hudaibiyah (Hudaibiyah termasuk Tanah Haram).

Firman-Nya: (وَأَنْتُمْ حُرُمٌ) wa antum ḫurum, pada ayat pertama surah ini yang diterjemahkan dalam arti kamu dalam keadaan berihram. Dapat juga diartikan dan kamu berada di daerah Haram.

Yang dimaksud dengan orang-orang yang mengunjungi Baitullah adalah kaum musyrikin yang, ketika turunnya ayat ini, masih diperbolehkan mengunjungi Ka'bah untuk melaksanakan haji atau umrah, bukan untuk tujuan lain, misalnya untuk mengganggu kaum Muslimin. Itu sebabnya ayat ini tidak menyatakan mengunjungi Mekkah. Salah satu alasan yang menguatkan penafsiran ini bahwa orang-orang Muslim terlarang mengganggu mereka kapan dan di mana pun sehingga dengan larangan khusus ini, pastilah ia bukan ditujukan terhadap orang-orang beriman. Namun, kiranya diingat bahwa jika orang-orang musyrik saja ketika itu tidak boleh diganggu pada saat mereka akan melaksanakan haji, lebih-lebih lagi ummat Islam. Selanjutnya, perlu juga dicatat bahwa izin bagi kaum musyrikin untuk melaksanakan haji sesuai tradisi Nabi Ibrahim 'alaihis salam, bahkan izin bagi mereka untuk memasuki Masjidil-Haram telah dicabut Allah dengan firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَذَا
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil-Haram sesudah tahun ini." (QS at-Taubah 9: 28), yakni sesudah tahun kesembilan Hijrah. Sementara surah al-Maa-idah, menurut sementara ulama, turun setelah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kembali dari Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah tahun keenam Hijrah.

Satu riwayat menyatakan bahwa larangan ini turun berkenaan dengan rencana serombongan kaum Muslimin untuk merampas unta-unta yang dibawa oleh serombongan kaum musyrikin dari suku penduduk Yamamah di bawah pimpinan Syuraih bin Dhubai'ah, yang digelar al-Hutham, dengan alasan bahwa unta-unta itu adalah milik kaum Muslimin yang pernah mereka rampas.

Bahwa ayat di atas melarang kaum Muslimin menghalangi kaum musyrikin yang akan melaksanakan haji—sesuai keyakinan mereka—cukup menjadi bukti betapa tinggi toleransi yang diajarkan oleh Islam. Memang, hal itu kemudian dilarang—khusus untuk memasuki kota Mekkah—tetapi larangan tersebut karena pertimbangan keamanan dan kesucian kota itu. Tetapi, toleransi yang diberikannya kepada penganut keyakinan lain untuk mengamalkan ajaran agamanya selain di kota tersebut tetap berlaku. Hingga kini, kita masih mengenal kebijaksanaan-kebijaksanaan khusus yang ditermpuh oleh negara-negara demokrasi dalam mengatur siapa yang boleh dan tidak boleh mengunjungi kota atau tempat-tempat tertentu. Kesepakatan negara-negara untuk mengharuskan adanya visa untuk memasuki satu wilayah adalah salah satu cermin tentang sahnya mengizinkan atau melarang seseorang memasuki satu tempat berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masing-masing negara.

Ada juga ulama yang memahami para pengunjung Baitullah yang dimaksud oleh ayat di atas adalah kaum Muslimin, bukan kaum musyrikin. Imam Fakhruddin ar-Razi termasuk salah seorang ulama yang berpendapat demikian, dengan alasan larangan melanggar syi'ar-syi'ar Allah pada awal ayat ini. Syi'ar-syi'ar itu, tulisnya, pastilah yang direstui oleh Allah sehingga tentu ia merupakan syi'ar kaum Muslimin, bukan orang-orang musyrik. Demikian juga akhir penggalan ayat itu yang menyatakan: "Mereka mencari karunia dan keridhaan dari Tuhan mereka". Redaksi semacam ini, tulis ar-Razi, hanya wajar bagi orang Muslim, bukan bagi orang kafir.

Pendapat pertama lebih kuat. Bukan saja berdasarkan sebab turunnya ayat yang dikemukakan di atas, tetapi juga berdasarkan kenyataan sejarah yang didukung oleh teks-teks keagamaan yang membuktikan bahwa non-Muslim pun datang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan mereka tulus sesuai kepercayaan mereka untuk meraih ridha Allah. Di sisi lain, apakan tergambar dalam benak bahwa pada masa turunnnya larangan ayat ini ada orang beriman yang melarang kaum Muslimin berkunjung ke Baitullah? Rasanya tidak mungkin. Justru yang sangat logis adalah melarang orang musyrik mengunjunginya, maka dari sini—sampai ketika itu—masih dilarang.

Kata (شَنَآنُ) Syana-an adalah kebencian yang telah mencapai puncaknya. Dari pengertian tersebut, firman-Nya: Dan janganlah sekali-kali kebencian kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil-Haram mendorong, kamu berbuat aniaya, merupakan bukti nyata betapa al-Qur'an menekankan keadilan. Musuh yang dibenci—walau telah mencapai puncak kebenciannya sekalipun—lantaran menghalang-halangi pelaksanaan tuntunan agama, masih harus diperlakukan secara adil, apalagi musuh atau yang dibenci tapi belum sampai ke puncak kebencian dan oleh sebab lain yang lebih ringan. (Bersambung)
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar: