Laman

Kamis, 20 Desember 2012

Cash Flow Langit dalam Surat Al Maiidah [5] : 1

Assalaamu 'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh,
Selamat pagi anak2ku dan sahabat2ku, Alhamdulillah kita masih bisa melanjutkan tadarus/kajian al-Qur'an dengan metode tafsir perkata, dan penjelasan dari ayat per ayat, diulang-ulang agar benar-benar bisa diingat, dipahami secara baik dan benar. Syukur kepada Allah bahwa kita telah memulai memasuki surah yang kelima yaitu surah al-Maa-idah, setelah menyelesaikan surah al-Fatihah sebanyak 7 ayat, al-Baqarah 286 ayat, Aali 'Imraan 200 ayat, dan surah an-Nisaa' 176 ayat.

SURAT AL-MAA-IDAH
Surat Al Maa'idah terdiri dari 120 ayat; termasuk golongan surat Madaniyyah. Sekalipun ada ayatnya yang turun di Mekkah, namun ayat ini diturunkan sesudah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam hijrah ke Madinah, yaitu di waktu haji wadaa'. Surat ini dinamakan Al Maa'idah (hidangan) karena memuat kisah pengikut-pengikut setia Nabi Isa 'alaihis salam meminta kepada Nabi Isa 'alaihis salam agar Allah menurunkan untuk mereka Al Maa'idah (hidangan makanan) dari langit (ayat 112). Dan dinamakan Al Uqud (perjanjian), karena kata itu terdapat pada ayat pertama surat ini, dimana Allah menyuruh agar hamba-hamba-Nya memenuhi janji prasetia terhadap Allah dan perjanjian-perjanjian yang mereka buat sesamanya. Dinamakan juga Al-Munqidz (yang menyelamatkan), karena akhir surah ini mengandung kisah tentang Nabi Isa 'alaihis salam penyelamat pengikut-pengikut setianya dari azab Allah.

Pokok-pokok isinya.
1. Keimanan:
Bantahan terhadap orang-orang yang mempertuhankan Nabi 'alaihis salam.

2. Hukum-hukum:
Keharusan memenuhi perjanjian; hukum melanggar syi'ar Allah; makanan yang dihalalkan dan diharamkan; hukum mengawini ahli kitab; wudhu'; tayammum; mandi; hukum membunuh orang; hukum mengacau dan mengganggu keamanan; hukum qishaas; hukum melanggar sumpah dan kafaaratnya; hukum binatang waktu ihram; hukum persaksian dalam berwasiat.

3. Kisah-kisah:
Kisah-kisah Nabi Musa 'alaihis salam menyuruh kaumnya memasuki Palestina; kisah Habil dan Qabil, kisah-kisah tentang Nabi Isa 'alaihis salam.

4. Dan lain-lain:
Keharusan bersifat lemah lembut terhadap sesama mukmin bersikap keras terhadap orang-orang kafir; penyempurnaan Agama Islam di zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam; keharusan jujur dan berlaku adil; sikap dalam menghadapi berita-berita bohong; akibat berteman akrab dengan orang yang bukan Muslim; kutukan Allah terhadap orang-orang yahudi, kewajiban Rasul hanya menyampaikan agama; sikap yahudi dan nasrani terhadap orang Islam; Ka'bah sokoguru kehidupan manusia; peringatan Allah supaya meninggalkan kebiasaan Arab jahiliyah; larangan-larangan terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengakibatkan kesempitan dalam agama.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah Syaiban, dari Lais, dari Syahr ibnu Hausyab. dari Asma binti Yazid yang menceritakan, "Sesungguhnya aku benar-benar sedang memegang tali unta Adba' (unta kendaraan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) ketika diturunkan kepadanya surat Al-Maidah seluruhnya. Hampir saja paha unta itu patah karena beratnya wahyu (yang sedang turun kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam).

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui hadits Shaleh ibnu Sahi, dari Asim Al-Ahwal yang menceritakan, telah menceritakan kepadanya Ummu Amr, dari pamannya, bahwa ia sedang dalam perjalanan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu turunlah surat Al-Maa-idah kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Maka leher unta kendaraannya menunduk, tak dapat tegak, karena beratnya surat Al-Maidah yang sedang diturunkan.

QS AL-MAA-IDAH 5: 01.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ  ۗ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ  ۗ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ
YAAA AYYUHAL-LADZIINA AAMANUUU AUFUU BIL-'UQUUDI, UḪILLAT LAKUM BAHIIMATUL-AN-'AAMI ILLAA MAA YUTLAA 'ALAIKUM GHOIRO MUḪILLISH-SHOIDI WA-ANTUM ḪURUM, INNALLOOHA YAḪKUMUU MAA YURIIDU. =  Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.

[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

"YAAA AYYUHAA=wahai" "AL-LADZIINA=orang-orang yang" "AAMANUUU=mereka beriman" "AUFUU=kalian tunaikan" "BIL-'UQUUDI=janji-janji" baik perjanjian yang terpatri di antara kamu dengan Allah maupun dengan sesama manusia. "UḪILLAT=telah dihalalkan" "LAKUM=bagi kalian" "BAHIIMATU=hewan" "AL-AN-'AAMI=ternak" artinya halal memakan unta, sapi dan kambing setelah hewan itu disembelih, "ILLAA=kecuali" "MAA=apa yang" "YUTLAA=akan dibacakan"  'ALAIKUM=atas kalian" tentang pengharamannya dalam ayat, "Hurrimat `alaikumul maitatu..." Istitsna` atau pengecualian di sini munqathi` atau terputus tetapi dapat pula muttashil, misalnya yang diharamkan karena mati dan sebagainya. "GHOIRO=tidak" "MUḪILLII=dihalalkan" "ASH-SHOIDI=berburu" "WA-ANTUM=dan kalian" "ḪURUM=berihram" ketika mengerjakan haji,  ghaira dijadikan manshub karena menjadi hal bagi dhamir yang terdapat pada lakum. "INNALLOOHA=sesungguhnya Allah" "YAḪKUMUU=Dia menetapkan hukum" "MAA=apa yang" "YURIIDU=Dia kehendaki" baik menghalalkan maupun mengharamkannya tanpa seorang pun yang dapat menghalangi-Nya.

Surah an-Nisaa' mencakup sekian banyak ayat yang mengandung uraian tentang akad, baik secara tegas maupun tersirat. Yang tegas antara lain akad nikad dan shidaaq (mahar) serta akad perjanjian keamanan dan kerja sama. Yang tersirat antara lain akad wasiat, wadii'ah (titipan), wakaalah (perwakilan), dan lain-lain. Maka, sangat wajar jika awal ayat pada surah al-Maa-idah ini memulai pesannya kepada kaum beriman agar memenuhi semua akad perjanjian yang tersurat dan tersirat yang dikandung oleh surah yang lalu.

Al-Biqa'i mengemukakan hubungan yang lebih terperinci, Menurutnya, pada akhir surah yang lalu (QS an-Nisaa' 4: 160), telah diuraikan bahwa orang-orang yahudi, yang melakukan kezhaliman dengan mengabaikan perjanjian mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala, telah dijatuhi sanksi, yakni berupa diharamkannya atas mereka aneka makanan yang baik-baik yang telah dihalalkan bagi mereka, yakni yang dijelaskan dalam QS al-An-am 6: 145. Dalam surah an-Nisaa' itu, Allah melanjutkan kecaman-Nya kepada ahli kitab dan mengakhirinya dengan uraian tentang warisan serta keharusan memenuhi perjanjian dan ketetapan-ketetapan Allah Yang Maha Mengetahui. Dari sini, sangat wajar dan amat sesuai bila surah ini dimulai dengan tuntunan kepada orang beriman untuk memenuhi akad dan ketentuan yang ada sambil mengingatkan nikmat-Nya menyangkut dihalalkannya binatang ternak buat mereka. Allah memulai tuntunan-Nya ini dengan menyeru: Hai orang-orang yang beriman, untuk membuktikan kebenaran iman kalian, penuhilah akad-akad itu, yakni baik akad antara kamu dan Allah yang terjalin melalui pengakuan kamu dengan beriman kepada Nabi-Nya ataupun melalui nalar yang dianugerahkan-Nya kepada kamu, demikian juga perjanjian yang terjalin antara kamu dan sesama manusia, bahkan perjanjian antara kamu dan diri kamu sendiri. Bahkan, semua perjanjian selama tidak mengandung pengharaman yang halal atau penghalalan yang haram.

Salah satu akad yang perlu kamu ingat adalah bahwa telah dihalalkan bagi kamu apa yang sebelum ini diharamkan atas ahli kitab, yaitu binatang ternak, setelah disembelih secara sah. Yakni dihalalkan bagi kamu memakannya, memanfaatkan kulit, bulu, tulang, dan lain-lain dari binatang ternak itu kecuali atau tetapi yang akan dibacakan kepada kamu dalam al-Qur'an surah al-An'am dan ayat ketiga surah ini serta yang terdapat dalam sunnah yang shahih, itu adalah haram, antara lain sabda Rasul shallallahu 'alaihi wasallam yang mengharamkan semua binatang yang bertaring. Yang demikian itu, dengan tidak menghalalkan, baik dengan melakukan maupun sekadar meyakini kehalalan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum, yakni berihram untuk melaksanakan haji, umrah, atau memasuki Tanah Haram. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum halal atau haram, boleh atau tidak, menurut yang Dia kehendaki, dan berdasar pengetahuan dan hikmah-Nya. Karena itu, penuhilah ketentuan-ketentuan-Nya. Berusahalah mengetahui latar belakangnya. Bila kamu menemukan hikmah rahasianya, bersyukurlah dan bila tidak atau belum kamu temukan, laksanakanlah dengan penuh ketaatan dan rendah hati.

Ayat-ayat yang dimulai dengan panggilan (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) yaa ayyuhal-ladziina aamanuu adalah ayat-ayat yang turun di Mekkah. Panggilan semacam ini bukan saja merupakan panggilan mesra, tetapi juga dimaksudkan agar yang diajak mempersiapkan diri melaksanakan kandungan ajakan. Dalam konteks ini, diriwayatkan bahwa sahabat Nabi shallallallahu 'alaihi wasallam, Ibnu Mas'ud, berkata: "Jika anda mendengar panggilan Ilahi yaa ayyuhal-ladziina aamanuu, siapkanlah dengan baik pendengaranmu karena sesungguhnya ada kebaikan yang Dia perintahkan atau keburukan yang Dia larang."

Kata (العقود) al-'uquud adalah jamak (عقد) 'aqad/akad yang pada mulanya berarti mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak berpisah dengannya. Jual beli, misalnya, adalah salah satu bentuk akad yang menjadikan barang yang dibeli menjadi milik pembelinya sehingga dia dapat melakukan apa saja dengan barang itu dari pemilik semula, yakni penjualnya, dengan akad jual beli tidak lagi memiliki wewenang sedikit pun atas barang yang telah dijualnya. Demikian juga dengan akad pernikahan, yang dengannya wanita dan pria terikat dengan ketentuan-ketentuan sehingga pria dapat berhubungan seks dengannya dan wanita yang dinikahinya terikat pula sehingga tidak boleh menikahi pria lain, kecuali bila ikatan itu dilepas lantaran satu dan lain sebab.

Kata (أوفوا) auwfuu, sebagaimana telah dikemukakan ketika menafsirkan QS an-Nisaa' 4: 173, pada mulanya berarti memberikan sesuatu dengan sempurna, dalam arti melebihi kadar yang seharusnya. Menurut Thahir Ibn 'Asyur, ketika turunnya al-Qur'an, masyarakat mendapatkan kesulitan dalam menetapkan ukuran yang adil karena kurangnya timbangan di kalangan mereka. Biasanya, untuk memberi rasa puas menyangkut kesempurnaan timbangan, mereka melebihkan dari kadar yang dianggap adil dan seimbang.

Perintah ayat ini menunjukkan betapa al-Qur'an sangat menekankan perlunya memenuhi akad dalam segala bentuk dan maknanya dengan pemenuhan sempurna, kalau perlu melebihkan dari seharusnya, serta mengecam mereka yang menyia-nyiakannya. Ini karena rasa aman dan bahagia manusia secara pribadi atau kolektif tidak dapat terpenuhi, kecuali bila mereka memenuhi ikatan-ikatan perjanjian yang mereka jalin. Sedemikian tegas al-Qur'an dalam kewajiban memenuhi akad hingga setiap Muslim diwajibkan memenuhinya, walaupun hal tersebut merugikannya. Ini karena, kalau dibenarkan melepaskan ikatan perjanjian, rasa aman masyarakat akan terusik. Kerugian akibat kewajiban seseorang memenuhi perjanjian terpaksa ditetapkan demi memelihara rasa aman dan ketenangan seluruh anggota masyarakat, dan memang kepentingan umum harus didahulukan atas kepentingan perorangan.

Yang dimaksud dengan (الأنعام) al-an'aam dalam ayat ini adalah unta, sapi, dan kambing. Makna tersebut kemudian diperluas sehingga mencakup semua binatang atau burung dan unggas yang memakan tumbuh-tumbuhan dan tidak ada keterangan agama yang mengharamkannya. Ada juga ulama yang membatasi kata ini dalam pengertian "segala binatang darat dan laut yang berkaki empat". Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan bahiimat al-an'aam adalah janin yang telah mati dan keluar atau dikeluarkan dari perut binatang yang disembelih secara sah. Ini, menutur al-Alusi dalam tafsirnya Ruh al-Ma'ani, adalah pendapat Imam Syafi'i.

Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan berburu bagi yang sedang dalam keadaan berihram karena kota Mekkah dan sekitarnya adalah kota yang dikehendaki-Nya menjadi kota yang aman dan tenteram, bukan saja bagi manusia, tetapi bagi seluruh makhluk, baik binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Di sisi lain, Allah mengarahkan manusia agar selama berihram hendaknya hati dan pikiran tertuju sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Yang dimaksud dengan larangan berburu adalah larangan menangkap binatang yang tidak jinak, baik dengan tangan ataupun alat, seperti tali, jala, tombak, panah, dan lain-lain, atau dengan menggunakan binatang terlatih.

Di atas, telah disinggung sepintas hubungan antara perintah memenuhi akad dan dihalalkannya binatang ternak. Tidak banyak ulama menjelaskan hubungan tersebut, bahkan sebagian mendapat kesulitan menghubungkannya, dengan alasan bahwa dihalalkannya binatang ternak bukanlah bagian dari akad yang harus dipenuhi, kecuali dengan menghubungkannya dengan pengecualian yang disebut dalam lanjutan ayat di atas.

Thahir Ibn 'Asyur berpendapat bahwa pernyataan dihalalkan kepada kamu binatang ternak merupakan pendahuluan bagi larangan-larangan yang datang sesudahnya seperti tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang dalam keadaan hurum, tolong-menolonglah dalam kebaikan dan ketakwaaan dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan. Dengan menyebutkan terlebih dahulu anugerah Allah menyangkut apa yang dihalalkan, diharapkan jiwa kaum Muslimin akan dengan tenang menerima ketetapan-ketetapan Allah, seakan-akan ayat ini menyatakan: Jika Kami mengharamkan untuk kamu sekian banyak hal, sesungguhnya Kami telah menghalalkan buat kamu lebih banyak dari yang diharamkan itu, jika Kami mewajibkan atas kaum sekian banyak kewajiban, sesungguhnya kelapangan yang Kami anugerahkan jauh lebih banyak. Ini bukti bahwa Allah tidak menghendaki kecuali kemaslahatan dan kebaikan manusia.

Ayat ini disebut-sebut oleh ulama sebagai ayat yang sangat singkat redaksinya, tetapi sangat padat kandungannya. Filosof al-Kindi pernah diminta untuk menyusun kalimat singkat yang sarat makna seperti ayat-ayat al-Qur'an. Tetapi, setelah tekun sekian hari menyendiri dan berpikir, dia mengaku tidak mampu, bahkan tak seorang pun akan mampu: "Aku membuka mushaf al-Qur'an, ketemukan surah al-Maa-idah dan kuperhatikan, ternyata ayatnya berbicara tentang kewajiban menepati perjanjian, melarang melanggarnya, menghalalkan secara umum, kemudian mengecualikan setelah pengecualian, kemudian menjelaskan tentang kekuasaan Allah dah hikmah kebijaksanaan-Nya. Semua itu hanya dalam dua baris. Sungguh, hal demikian tidak mungkin akan mampu dilakukan oleh siapa pun!"

Uraian tentang akhir surah Yasin akan kembali di temukan ucapan al-kindi yang serupa.

Semoga bermanfaat dan selamat beraktivitas....
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar: