Laman

Kamis, 20 Desember 2012

Cash Flow Langit dalam surat al maiidah [5] : 6 (bagian 2)

Betapa pun redaksi yang digunakan ayat ini mengajarkan kita bagaimana seharusnya menggunakan kata-kata sopan dalam mengekspresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan. Sehingga, jangankan perbuatannya dirahasiakan, kata atau kalimat-kalimat yang digunakan pun merupakan kalimat yang sepintas bagaikan rahasia. Bahkan, perhatikanlah bagaimana ayat di atas tidak secara langsung berkata atau kamu kembali dst., tetapi redaksinya adalah salah seorang dari kamu kembali. Ini adalah untuk menghindarkan masing-masing mitra dialog dari perbuatan yang sebaiknya tidak diketahui orang atau malu jika menyebutnya.

Demikian juga halnya dengan kata (لامَسْتُمُ النِّسَاءَ) laamastumun-nisaa' yang diterjemahkan di atas dengan kamu menyentuh perempuan. Kata ini digunakan untuk mengekpresikan hal-hal yang seharusnya dirahasiakan.

Kata sho-'iidan, yang diterjemahkan tanah, dipahami oleh Imam Syafi'i dalam arti tanah yang dapat menyuburkan tumbuhan. Pengertian ini antara lain karena kata tersebut disertai dengan kata (طَيِّبًا) thoyyiban yang bukan saja dipahami dalam arti suci, tetapi juga berpotensi menumbuhkan tumbuhan, sesuai firman-Nya: "Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah" (QS al-A'raaf 7: 58). Imam Ibn Hambal juga memahaminya dalam arti tanah, bukan selainnya. Kedua Imam Mazhab tersebut juga berpegang kepada hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang menyatakan: "Kita diistimewakan atas (ummat) manusia yang lain dalam tiga hal: shaft (barisan) kita seperti shaf-shaf Malaikat, dijadikan buat kita semua bumi sebagai masjid (tempat sujud), dan dijadikan tanahnya sebagai sarana penyucian jika kita tidak mendapatkan air" (HR Imam Muslim). Kita lihat—kata kedua Imam tersebut—tanah secara tegas yang disebut, seandainya yang lain boleh pastilah disebut juga. Bukankan hadist ini dalam konteks menyebut anugerah-Nya yang membedakan ummat Islam dari ummat yang lain?

Imam Abu Hanifah memahaminya dalam arti segala sesuatu yang merupakan bagian dari bumi sehingga termasuk pula pasir, batu, dan semacamnya selama ia tidak najis. Imam Malik lebih memperluas pengertiannya sehingga beliau memasukkan pula dalam pengertian kata sho-'iidan, pepohonan, tumbuhan dan semacamnya. Beliau memahami kata ini dalam arti segala sesuatu yang menonjol di permukaan bumi ini.

Pakar tafsir dan hukum, al-Qurthubi, menyimpulkan setelah mengemukakan perbedaan pendapat di atas bahwa: Tidak ada perbedaan pendapat ulama tentang bolehnya bertayamum dengan tanah yang suci dan dapat menumbuhkan tumbuhan, bukan tanah yang dipindahkan atau ditegakkan pada sesuatu. Ulama juga sepakat tidak memperkenankan bertayamum dengan emas murni, perak, mutiara, makanan seperti roti atau daging, tidak juga dengan barang-barang yang najis. Adapun barang tambang selain yang disebut di atas, dibenarkan oleh mazhab Malik dan dilarang oleh mazhab Syafi'i.

Firman-Nya: (فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ) famsaḫu bi wujuuhikum wa aydiikum minhu=maka sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu menunjukkan bahwa dalam bertayamum hanya wajah dan tangan yang harus disapu dengan tanah, ada pun sebab bertayamum dan tujuannya, apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi. Selanjutnya, ulama berbeda pendapat tentang cakupan makna tangan. Ada yang memahaminya kedua tangan hingga siku dan ada juga yang memahaminya hingga pergelangannya saja. Ada lagi yang memahaminya sampai ke ketiak, tetapi pendapat terakhir ini tidak populer. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa bertayamum cukup dengan memukulkan atau menyentuhkan telapak tangan sekali ke tanah, lalu dengan tanah yang ada di telapak tangan itu wajah dan tangan dibasuh. Inilah mazhab Ahmad Ibn Hanbal. Ada juga yang mengharuskan dua kali pukulan (sentuhan), yang pertama untuk membasuh wajah dan yang kedua untuk membasuh tangan. Yang terakhir ini adalah pendapat Imam Syafi'i.

Tayamum terbatas pada menyapu wajah dan tangan karena tujuannya bukan membersihkan diri atau menyegarkan jiwa dan jasmani, sebagaimana halnya dengan mandi dan berwudhu, tetapi sebagai ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang hikmahnya tidak diketahui oleh kita selaku hamba-Nya.

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ayat tayamum turun berkaitan dengan kasus istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, 'Aisyah radhiallahu 'anha, ketika dalam suatu perjalanan bersama Rasul dan sahabat-sahabatnya, beliau kehilangan kalung di padang pasir. Rasul shallallahu 'alaihi wasallam singgah mencarinya—dan rombongan beliau pun demikian—padahal ketika itu mereka tidak memiliki air. Ketika tiba waktu subuh, dan mencari air tetapi tidak menemukannya, turunlah ayat di atas yang memerintahkan bertayamum.

Sebenarnya, kewajiban berwudhu untuk shalat, demikian juga tuntunan tayamum, telah dikenal oleh ummat Islam jauh sebelum turunnya ayat ini. Ulama sepakat menyatakan demikian karena sekian banyak riwayat menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak pernah shalat tanpa wudhu. Dan, seperti diketahui, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam telah melaksanakan shalat sejak dini di Mekkah. Demikian juga dengan mandi, bahkan boleh jadi kewajiban mandi wajib mendahului kewajiban berwudhu dalam shalat karena hal ini telah dikenal sebagai ajaran Nabi Ibrahim 'alaihis salam dan diamalkan oleh masyarakat jahiliah.

Semoga bermanfaat....
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar: