Laman

Kamis, 20 Desember 2012

Cash Flow Langit dalam surat Al Maiidah [5]: 5

Assalaamu 'alaikum warohmatulloohi wabarokaatuh,
Selamat pagi anak2ku dan sahabat2ku, Alhamdulillah kita masih bisa melanjutkan tadarus/kajian al-Qur'an dengan metode tafsir perkata, dan penjelasan dari ayat per ayat secara berulang agar benar-benar kita bisa mengingatnya serta dipahami secara baik dan benar.

Pada ayat sebelumnya telah diterangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menghalalkan bagi kaum Muslimin makanan yang baik-baik dan dari buruan yang ditangkap oleh binatang buas, seperti anjing, singa, harimau dan burung yang telah diajari dengan melatihnya untuk berburu sebagaimana yang telah diajarkan Allah kepada sebagian diantara kalian. Maka dibolehkan memakan apa yang ditangkapnya untuk kaum Muslimin, tetapi diwajibkan disebut nama Allah atas binatang buas itu waktu melepaskannya. Dan diakhir ayat Allah menyuruh kita untuk bertakwa kepada-Nya, karena sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. Maka pada ayat lanjutan ini Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

QS AL-MAA-IDAH 5: 5.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۗ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ ۖ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ  وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالإيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ ۖ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
AL-YAUMA UḪILLA LAKUMUTH-THOYYIBAATU, WA-THO-AAMUL-LADZIINA UUTUL-KITAABA ḪILLUL-LAKUM, WA-THO-AAMUKUM ḪILLUL-LAHUM, WAL-MUḪSHONAATU MINAL-MU'MINAATI WAL-MUḪSHONAATU MINAL-LADZIINA UUTUL-KITAABA MIN QOBBLIKUM IDZAAA AATAITUMUU-HUNNA  UJUURO-HUNNA MUḪSHINIINA GHOIRO MUSAAFIḪIINA WALAA MUTTAKHIDZIII AKHDAANIN, WAMAY-YAKFUR BIL-IIMAANI FAQODD ḪABITHO 'AMALUHUU, WA-HUWA FIL-AAKHIROTI MINAL-KHOOSIRIINA. = "Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.

[402] Ada yang mengatakan wanita-wanita yang merdeka.

"AL-YAUMA=pada hari ini" "UḪILLA=dihalalkan" "LAKUM=bagi kalian" "ATH-THOYYIBAATU=yang baik-baik" artinya yang enak-enak, "WA-THO-AAMU=dan makanan" "AL-LADZIINA=orang-orang yang" "UUTUL-KITAABA=mereka diberi kitab" maksudnya sembelihan orang-orang yahudi dan nasrani bagi mereka yang menyembelihnya dengan menyebut nama Allah, "ḪILLUN=halal" "LAKUM=bagi kalian", "WA-THO-AAMUKUM=dan makanan kalian" yang kamu sajikan kepada mereka, "ḪILLUN=halal" "LAHUM=bagi mereka", "WAL-MUḪSHONAATU=dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan" "MINAL-MU'MINAATI=dari wanita-wanita yang beriman" "WAL-MUḪSHONAATU=dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan" "MINAL-LADZIINA=dari orang-orang yang" "UUTUL-KITAABA=mereka diberi Kitab" "MIN QOBBLIKUM=dari sebelum kalian" halal pula kamu kawini. "IDZAAA=jika" "AATAITUMUU-HUNNA=kalian berikan kepada mereka" "UJUURO-HUNNA=mahar-mahar mereka" "MUḪSHINIINA=menikahi" untuk menjaga kehormatan, "GHOIRO=bukan" "MUSAAFIḪIINA=untuk berzina" dengan mereka secara terang-terangan, "WALAA=dan tidak" "MUTTAKHIDZIII=menjadikannya" "AKHDAANIN=kekasih simpanan" atau melakukan perzinaan dengan mereka secara sembunyi-sembunyi, "WAMAN=dan siapa yang" "YAKFUR=dia ingkar" murtad,  "BIL-IIMAANI=dari iman" "FAQODD=maka sungguh" "ḪABITHO=sia-sia"  'AMALUHUU=amalnya" amal shaleh sebelum itu hingga tidak dianggap diberi pahala, "WA-HUWA=dan dia" "FIL-AAKHIROTI=di akhirat" "MINAL-KHOOSIRIINA=(termasuk) dari orang-orang yang rugi" yakni jika ia meninggal dalam keadaan demikian itu.

Sekali lagi, Allah mengulangi pernyataan ayat lalu dan menambahkan bahwa: Pada hari ini dihalalkan bagi kamu, kaum Muslimin semua, yang baik-baik. Makanan, yakni binatang halal sembelihan orang-orang yang diberi al-kitab itu halal bagi kamu memakannya dan makanan kamu halal pula bagi mereka sehingga kamu tidak berdosa bila memberinya kepada mereka. Dan dihalalkan juga bagi kamu menikahi wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab, yakni orang-orang yahudi dan nasrani, sebelum kamu bila kamu telah membayar imbalan, yakni mas kawin mereka, yakni telah melangsungkan akad nikah secara sah, pembayaran dengan maksud memelihara kesucian diri kamu, yakni menikahi sesuai tuntunan Allah, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya pasangan-pasangan yang dirahasiakan atau gundik-gundik. Dihalalkan kepada kamu pernikahan itu, sambil kiranya kamu mengingat bahwa barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya. Jika kekafiran tersebut dibawa mati dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.

Kata (طَعَامُ) Tho-'aam=makanan yang dimaksud oleh ayat di atas adalah sembelihan karena sebelum ini telah ditegaskan hal-hal yang diharamkan sehingga selainnya otomatis halal, baik sebelum maupun setelah dimiliki ahli kitab. Juga karena, sebelum ini terdapat uraian tentang penyembelihan dan perburuan sehingga kedua hal inilah yang menjadi pokok masalah. Ada juga yang memahami kata makanan dalam arti buah-buahan, biji-bijian, dan semacamnya. Namun, pendapat ini sangat lemah.

Kendati demikian, hendaknya perlu diingat bahwa tidak otomatis semua makanan ahli kitab selain sembelihannya menjadi halal. Karena, boleh jadi makanan yang mereka hidangkan telah bercampur dengan bahan-bahan haram, misalnya minyak babi atau minuman keras, dan boleh jadi juga karena adanya bahan yang najis. Dalam konteks ini, Sayyid Muhammad Thathawi, mantan Mufti Mesir dan Pemimpin Tertinggi al-Azhar, menukil pendapat sementara ulama bermazhab Imam Malik yang mengharamkan keju dan sebangsanya yang diproduksi di negara non-Muslim dengan alasan bahwa kenajisannya hampir dapat dipastikan. Namun, setelah menukil pendapat ini, Thanthawi menegaskan bahwa mayoritas ulama tidak berpendapat demikian, dan bahwa makanan keju dan semacamnya yang diproduksi di negeri-negeri non-Muslim dapat dibenarkan, selama belum terbukti bahwa makanan tersebut telah bercampur dengan najis.

Berbeda-beda pendapat ulama tentang cakupan makanan (الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ) alladziina uutul-kitaab. Setelah para ulama sepakat bahwa paling tidak mereka adalah penganut agama yahudi dan nasrani, mereka kemudian berbeda pendapat apakah penganut agama itu adalah generasi masa lalu dan keturunannya saja atau termasuk para penganut kedua agama itu hingga kini, baik yang leluhurnya telah memeluknya maupun yang baru memeluknya. Ada yang menolak menamai penganut yahudi dan nasrani dewasa ini sebagai ahli kitab.

Penegasan kata (وَطَعَامُكُمْ) wa tho-'aamukum=makanan kamu, setelah sebelumnya ditegaskan kata "wa tho-'aamuhum=makanan mereka" (ahli kitab) adalah untuk menggarisbawahi bahwa dalam soal makanan dibenarkan hukum timbal balik, tetapi dalam soal pernikahan tidak ada timbal balik itu, dalam arti pria Muslim dapat menikah dengan wanita ahli kitab, tetapi pria ahli kitab tidak dibenarkan menikah dengan wanita Muslimah.

Pendapat tentang boleh tidaknya menikah dengan wanita ahli kitab, tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat tentang sembelihan mereka. Sementara ulama berpendapat bahwa, walaupun ayat ini pada dasarnya telah membenarkan pernikahan pria Muslim dengan wanita ahli kitab, ketentuan tersebut telah dibatalkan oleh firman Allah dalam QS al-Baqarah 2: 221:

وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
"WALAA TUNKIHUL-MUSYRIKIINA HATTAA YU'MINUU = Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita Mukmin) sebelum mereka beriman."

Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Abdullah Ibn Umar radhiallahu 'anhu menegaskan bahwa: "Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar daripada kemusyrikan seseorang yang percaya bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang hamba Allah"

Pendapat Ibn Umar ini tidak didukung oleh mayoritas sahabat-sahabat Nabi lainnya. Mereka tetap berpegang kepada bunyi teks ayat al-Maa-idah di atas dan menyatakan bahwa, walaupun akidah ketuhanan ahli kitab tidak sama atau sepenuhnya sama dengan dengan akidah Islamiyah, al-Qur'an tidak mempersamakan mereka dengan kaum musyrikin, bahkan membedakannya dan memberi mereka nama khusus, yakni ahli kitab. Perhatikanlah antara lain firman-Nya:
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
"Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata" (QS al-Bayyinah 98: 1).

Ayat ini membagi orang-orang kafir menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu ahli kitab dan orang-orang musyrik. Perbedaan itu dipahami dari huruf wau pada ayat itu yang berarti dan. Huruf ini dari segi bahasa digunakan untuk menghimpun dua hal yang berbeda. Nah, yang dilarang mengawinkannya dengan wanita Muslimah adalah pria musyrik, sedang yang dibenarkan oleh ayat al-Maa-idah ini adalah mengawini wanita ahli kitab.

Larangan pernikahan antar-pemeluk agama yang berbeda ini agaknya dilatarbelakangi oleh keinginan menciptakan "sakinah" dalam keluarga yang merupakan tujuan pernikahan. Pernikahan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antara suami dan istri. Jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya bahkan tingkat pendidikan pun tidak jarang menimbulkan kesalahpahaman dan kegagalan pernikahan.

Memang ayat ini membolehkan pernikahan antar-pria Muslim dan wanita ahli kitab, tetapi izin ini adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, di mana kaum Muslimin sering bepergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah. Bahwa wanita Muslimah tidak diperkenankan menikah dengan pria non-Muslim, baik ahli kitab lebih-lebih kaum musyrikin, karena mereka tidak mengakui kenabian Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Pria Muslim mengakui kenabian Isa dan sebagai pemimpin di dalam rumah tangganya serta mempunyai kewajiban untuk membimbing istrinya di dalam hidup beragama sehingga dapat mengajak istrinya untuk meyakini akan kebenaran Islam.

Firman-Nya: (وَالْمُحْصَنَاتُ) wal-muḫshonaat = wanita-wanita yang menjaga kehormatan, merupakan isyarat bahwa yang seharusnya dinikahi adalah wanita-wanita yang menjaga kehormatannya, baik wanita Mukminah maupun ahli kitab. Ada juga yang memahami kata tersebut ketika dirangkaikan dengan uutul-kitaab dalam arti wanita-wanita merdeka. Memang, kata itu dapat berarti merdeka, atau yang terpelihara kehormatannya, atau yang sudah nikah. Selanjutnya, didahulukannya penyebutan wanita-wanita Mukminah memberi isyarat bahwa mereka yang seharusnya didahulukan karena, betapa pun, persamaan agama dan pandangan hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga.

Ditutupnya ayat di atas, yang menghalalkan sembelihan ahli kitab serta pernikahan pria Muslim dengan wanita yahudi dan nasrani, dengan ancaman barang siapa yang kafir sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan seterusnya merupakan peringatan kepada setiap yang makan, dan atau merencanakan pernikahan dengan mereka, agar berhati-hati jangan sampai hal tersebut mengantar mereka kepada kekufuran karena akibatnya adalah siksa akhirat nanti.

Di sisi lain, ditempatkannya ayat ini sesudah pernyataan keputus-asaan orang-orang kafir dan sempurnanya agama Islam memberi isyarat bahwa dihalalkannya hal-hal tersebut antara lain karena ummat Islam telah memiliki kesempurnaan tuntunan agama dan karena orang-orang kafir sudah sedemikian lemah sehingga telah berputus asa untuk mengalahkan kaum Muslimin atau memurtadkannya. Ini—sekali lagi—menunjukkan bahwa izin tersebut bertujuan pula untuk menampakkan kesempurnaan Islam serta keluhuran budi pekerti yang diajarkan dan diterapkan oleh suami terhadap para istri penganut agama yahudi atau kristen itu, tanpa harus memaksanya untuk memeluk agama Islam, tetapi biasanya mereka akan memeluk agama  Islam secara suka rela karena mendapati keluhuran budi pekerti yang di praktekkan oleh suaminya dalam kehidupan sehari-hari di dalam berumahtangga. Atas dasar keterangan di atas, sangat pada tempatnya jika dikatakan bahwa tidak dibenarkan menjalin hubungan dengan wanita ahli kitab bagi yang tidak mampu menampakkan kesempurnaan ajaran Islam, lebih-lebih yang diduga akan terpengaruh oleh ajaran non-Islam yang dianut oleh calon istri atau keluarga calon istrinya.

WALLOOHU A'LAM.... sEmOgA bErManFaAt.... AaMiIn... n HaVe A nIcE wEeK-eNd...
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar: