Laman

Kamis, 20 Desember 2012

Cash Flow Langit Dalam Surat Al Maiidah [5] : 3 ( bagian 2 )

Darah yang mengalir diharamkan agaknya karena aromanya membusuk bila terkena udara dan karena ia mengalir ke seluruh tubuh dengan membawa kuman-kuman yang terdapat dalam tubuh. Bahkan, juga karena ia memberi pengaruh negatif pada perilaku manusia. Konon, pada pembunuh dan pelaku kriminal sering kali meminum darah atau menggunakannya dengan satu dan lain cara sebelum melaksanakan kejahatannya agar jiwanya tidak ragu dan tidak pula cemas ketika melangkah dalam kejahatannya.

Babi dinilai mengidap sekian banyak jenis kuman dan cacing yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Tenasolium adalah salah satu nama cacing yang berkembang biak dalam pencernaan, yang panjangnya dapat mencapai delapan meter. Pada tahun 1968, ditemukan sejenis kuman yang merupakan penyebab kematian sekian banyak pasien di Belanda dan Denmark. Lemak babi mengandung apa yang diistilahkan oleh sementara dokter dengan complicated fats, antara lain triglyceride, dan dagingnya mengandung kolesterol yang sangat tinggi, mencapai lima belas kali lipat lebih banyak daripada daging sapi. Dalam Encyclopedia Americana, dijelaskan perbandingan antara kadar lemak yang terdapat pada babi, domba, dan kerbau. Dalam kadar berat yang sama, babi mengandung 50 % lemak, domba 17 %, dan kerbau tidak lebih dari 5 %.

Yang tercekik mengakibatkan tertahannya darah pada bagian-bagian tubuh dan, pada gilirannya, mengakibatkan dagingnya bukan saja keras, tetapi juga membahayakan yang memakannya.

Yang dipukul mengandung penyiksaan terhadap binatang. Larangan memakannya antara lain karena larangan menyiksa binatang. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan agar sebelum menyembelih binatang, hendaknya mengasah pisau dan memberi kenyamanan atau tidak menyiksa binatang.

Alhasil, banyak yang dikemukakan para pakar. Kita boleh puas atau tidak puas dengan analisa mereka, tetapi adalah sangat bijaksana bahkan merupakan satu keharusan untuk tidak menjadikan jawaban siapa pun—walau sangat memuaskan—sebagai satu-satunya jawaban atas rahasia di balik pengharamannya.

Ketika mengemukakan hubungan antar-ayat, telah dikemukakan bahwa tuntunan ayat ini bila tidak diindahkan dapat mengakibatkan kekeruhan jiwa dan kegelapan. Menurut pandangan al-Harrali (w. 1232 M) yang menyatakan bahwa jenis makanan dan minuman dapat mempengaruhi jiwa dan sifat-sifat mental pemakan atau peminumnya, bukan hanya berdampak pada jasmaninya. Ulama ini mendasarkan pendapatnya setelah menganalisi kata (رجس) rijs yang disebut al-Qur'an sebagai salah satu alasan pengharaman makanan tertentu, seperti minuman keras (QS al-Maa-idah 5: 90), bangkai, darah, dan daging babi (QS al-An'aam 6: 145). Kata rijs, menurutnya, mengandung arti kebobrokan moral dan keburukan budi pekerti sehingga, jika Allah menyebut jenis makanan tertentu dan menilainya sebagai rijs, itu berarti makanan tersebut dapat menimbulkan keburukan budi pekerti dan kegelapan jiwa.

Memang, kata tersebut digunakan juga oleh al-Qur'an untuk menunjuk perbuatan buruk dan kebejatan mental seperti judi dan penyembahan berhala. Dan, tentu saja, penyembahan berhala adalah bentuk kebejatan jiwa yang paling besar.

Kini, kita kembali melihat lanjutan ayat yang ditafsirkan di atas. Terbaca di atas bahwa, setelah ayat ini menjelaskan hal-hal yang diharamkan, lalu ditegaskannya bahwa: Pada hari ini orang-orang yang kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agama kamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama kamu, dan telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama bagi kamu." Sekian banyak ulama yang berhenti merenungkan mengapa pernyataan di atas dikemukakan setelah penyebutan hal-hal yang diharamkan itu, dan mengapa sesudah pernyataan di atas dilanjutkan lagi dengan pernyataan: "Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Al-Biqa'i menghubungkan penggalan ayat di atas dengan penggalan ayat yang lalu dengan menyatakan bahwa menghindari larang-larangan ini hanya dapat dilakukan oleh siapa yang mantap dalam keber-agama-annya, memiliki tekad yang kuat, tidak mengarahkan pandangan selain-Nya, serta tidak pula memiliki keinginan untuk membangkang. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta'ala melanjutkan penyataan yang mengandung makna natijah atau hasil, dan sebab hal di atas sesudah larangan-larangan itu, yakni: "Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agama kamu...dst". Dengan kesempurnaan itu, tidak ada lagi alasan bagi mereka untuk tidak melaksanakan tuntunan diatas.

Sayyid Quthub melihat bahwa penempatan penggalan ayat di atas, yang sepintas terlihat tidak berhubungan, menunjukkan kesatuan ajaran Islam, antara aqidah, syariah, dan akhlaq. Agama, menurutnya, "merupakan satu kesatuan, baik yang berkaitan dengan pandangan menyangkut ide dan keyakinan, yang menyangkut syiar-syiar dan ibadah, halal dan haram, maupun yang berhubungan dengan ketentuan sosial dan internasional. Semua itulah yang dinamai Ad-Diin/agama, itulah yang disempurnakan, dan itulah nikmat yang dinyatakan-Nya sebagai dicukupkan oleh-Nya....." Demikian Sayyid Quthub.

Thahir Ibn 'Asyur mempunyai pandangan lain. Menurutnya, penggalan ayat tersebut ditempatkan di sini karena sebelumnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengharamkan sekian banyak hal yang termasuk ajaran syirik; penyembelihan atas nama selain Allah, yang disembelih atas berhala-berhala dan mengundi nasib dengan anak panah. Larangan itu merupakan hal-hal yang memberatkan mereka karena selama ini telah menjadi adat kebiasaan serta mengakibatkan pembatasan penghasilan mereka. Nah, di sini Allah mengingatkan mereka bahwa semua itu tidak lain untuk menyempurnakan agama mereka serta mengeluarkan mereka dari kesesatan jahiliah. Karena mereka telah didukung oleh agama yang agung yang mengantar kepada kemaslahatan mereka, seharusnya mereka pun menerima dengan tulus apa yang mereka rasakan berat itu demi kemaslahatan mereka karena diperlukan hal-hal yang berat demi kesempurnaan. Selanjutnya, sebagaimana kebiasaan al-Qur'an menyebut kemudahan setelah kesulitan, di sini pun demikian. Setelah penetapan hukum-hukum itu, dilanjutkan dengan penyebutan nikmat-Nya, sebagai berita yang menggembirakan bagi orang-orang beriman dan sebaliknya bagi orang-orang musyrik.

Di atas telah dikemukakan bahwa kata (الْيَوْمَ) al-yauma dipahami oleh sementara ulama sebagai hari tertentu ketika ayat ini turun, yakni pada hari Jum'at tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke tujuh, ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang wuquf di Arafah (HR Bukhari, Muslim, dan at-Tirmidzi melalui Thariq Ibn Syihab).

Al-Baghawi meriwayatkan melalui Ibn Abbas bahwa pada hari itu bertepatan lima hari raya: Jum'at, Arafah, dan hari raya agama-agama yahudi, nasrani, dan majusi. Al-Biqa'i menambahkan bahwa hari Jum'at selepas Ashar adalah saat di mana Allah menyempurnakan penciptaan langit dan bumi, dan saat itu pulalah ayat ini turun, memberitakan kesempurnaan agama.

Ulama lain, walau tidak menolak bahwa ayat ini turun pada saat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam wuquf di Arafah, tidak memahami kata pada hari ini dalam arti hari turunnya ayat ini. Memang, kata hari tidak selalu menunjuk kepada hari tertentu dalam seminggu. Kata hari, di samping dapat berarti sesaat, bagian tertentu dalam 24 jam, dapat juga berarti masa, baik sebulan, setahun bahkan berapa lama pun. Karena itu, penciptaan alam dalam tujuh hari tidak harus diartikan 7 x 24 jam, tetapi dapat diartikan tujuh masa atau tujuh periode, yang lamanya tidak harus sama. Pada akhirnya, kata hari dipahami dalam arti masa selesainya satu persoalan atau aktivitas.

Firman-Nya: Hari ini orang-orang yang kafir telah berputus asa untuk (mengalahkan) agama kamu, keputus-asaan tersebut dipahami oleh as-Sya'rawi dalam arti keputus-asaan mereka memutarbalikkan ajaran agama atau mengubah dan membatalkannya karena, pada masa itu, agama telah sempurna, al-Qur'an pun terpelihara dengan hafalan para sahabat sehingga tidak dikhawatirkan hilang atau diubah, sebagaimana hilang atau berubahnya kitab suci yang lain oleh ulah manusia. Inilah menurutnya sebab keputus-asaan tersebut.

Selanjutnya, ditegaskan bahwa: "….dan telah Ku-cukupkan kepada kau nikmat-Ku. Perbedaan antara kata (أكملت) akmaltu yang diterjemahkan dengan Ku-sempurnakan dan (أتممت) atmamtu yang diterjemahkan dengan telah Ku-cukupkan. Kata akmaltu digunakan untuk menggambarkan gabungan dari sekian banyak hal yang masing-masing sempurna dalam satu wadah yang utuh, sedang atmamtu adalah menghimpun banyak hal yang belum sempurna sehingga dengan terhimpunnya ia menjadi sempurna.

Ayat di atas menggunakan kata akmaltu = Ku-sempurnakan, untuk agama dan atmamtu = Ku-cukupkan, untuk nikmat-nikmat. Kita boleh bertanya mengapa untuk agama dinyatakan akmaltu dan untuk nikmat dinyatakan dengan atmamtu? Pemilihan akmaltu untuk agama memberi isyarat bahwa petunjuk-petunjuk agama yang beraneka ragam itu kesemuanya, dan masing-masingnya, telah sempurna. Jangan duga petunjuk agama tentang shalat, zakat, nikah, jual beli, kewarisan, dan lain-lain mempunyai kekurangan. Tidak! Semua telah sempurna dan telah dihimpun dalam satu wadah yang dinamai Diin, yakni agama Islam. Adapun nikmat, ia dicukupkan. Memang, banyak sekali nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala, misalnya kesehatan, kekayaan, keturunan, kedudukan, dan lain-lain. Kesemuanya, walau banyak, belumlah sempurna. Ia baru sempurna apabila dihimpun bersama dengan petunjuk-petunjuk agama. Petunjuk-petunjuk itulah yang jika digabungkan dengan aneka nikmat di atas menjadikan nikmat tersebut sempurna. Karena itu, bila kita memperoleh kekayaan atau kesehatan, tanpa memperoleh petunjuk agama, nikmat itu—betapa pun banyaknya—adalah nikmat yang masih kurang, belum cukup.

Islam atau penyerahan diri itulah yang diterima Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana ditegaskan oleh redaksi ayat di atas, (وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا) wa rodhiitu lakumul islaama diinan=dan telah Ku-ridhai Islam (penyerahan diri) menjadi agama bagi kamu. Kata (دين) diin berarti agama dan pembalasan, seakar dengan kata (دين) dain yang berarti utang. Kesemuanya terdiri tiga huruf yaitu (د) daal, (ي) yaa', dan (ن) nuun. Menurut pakar-pakar bahasa, rangkaian ketiga huruf tersebut menggambarkan hubungan antara dua pihak, di mana salah satunya memiliki kedudukan lebih tinggi daripada yang lain. Agama adalah hubungan antara manusia dengan Allah. Kedudukan manusia jauh lebih rendah daripada Allah. Demikian juga hubungan yang memberi utang dan yang memberi balasan, dibanding dengan yang menerimanya. Manusia berutang kepada Allah. Bukankah sedemikian banyak nikmat-Nya yang telah diterima manusia? Sebanyak yang kita terima, sebanyak itu pula seharusnya kita kembalikan. Bukankah bulan memancarkan sinarnya sebanyak cahaya matahari yang diserapkanya? Perintah-Nya: Ittaqullooh Haqqo Tuqootihi=bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya (yakni sesuai dengan anugerah-Nya) baca QS Aali 'Imraan 3: 102) adalah perintah Allah yang seharusnya merupakan dasar hubungan timbal balik manusia dengan Tuhan karena tidak sesaat pun makhluk luput dari nikmat-Nya dan tidak pula sekalipun Allah "melupakan" makhluk-Nya, Maka, seharusnya tidak sesaat pula manusia mengabdikan syukur dan taat kepada-Nya. Sepatutnya tidak ada tempat bagi kekufuran, kedurhakaan, dan kelengahan dalam perjalan hidup manusia. Demikian QS Aali 'Imraan 3:  102 di atas dipahami maknanya oleh banyak sahabat Nabi. Dan, kalau demikian, tidak seorang manusia pun yang mampu melaksanakan kandungan ayat itu. Dari sini, manusia datang kepada-Nya menyerahkan diri sambil mengakui kelemahan bahkan ketidak-berdayaannya.

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًاۗ  
WAMAN AḪSANU DIINAM-MIMMAN ASLAMA WAJJHAHUU LILLAAHI  WAHUWA MUḪSINUW-WAT-TABA'A MILLATA IBBROOHIIMA ḪANIIFAN = Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus" (QS an-Nisaa' 4: 125). Karena itu Nabi Ibrahim 'alaihis salam menamai kita dan pengikut-pengikutnya sebagai Muslimin, yakni orang-orang yang menyerahkan diri (baca QS al-Hajj 22: 78).

Kehadiran manusia menyerahkan diri kepada-Nya adalah bukti pengakuan tentang utangnya, sekaligus bukti kesediaan membayarnya sesuai kemampuan. Inilah sikap terbaik dari seorang yang berutang, apalagi yang tidak mampu membayarnya. Bersyukur bahwa kemurahan Ilahi sedemikian besar sehingga takwa yang dituntut-Nya akhirnya Dia cukupkan dalam kadar kemampuan manusia. Maka, turun penjelasan, atau bahkan pembatalan perintah pada QS Aali 'Imraan ayat 102 di atas, yakni firman-Nya: "Maka bertakwalah kepada Allah sebanyak kemampuan kamu" (QS at-Taghaabun 64: 16, serta pada haji Wada' tanggal 9 Dzulhijjah tahun kedua belas Hijrah Allah Subhanahu "memproklamasikan" bahwa: "Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kamu, telah Ku-cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam (penyerahan diri) menjadi agama bagi kamu".

Demikian tersirat dari kata (دين) diin yang diterjemahkan dengan agama dan yang seakar dengan kata utang bahwa keberagamaan menuntut "pembayaran utang" kepada Allah. Namun, karena kita tidak mampu, Islam (penyerahan diri) itulah pembayaran utang. Tentu saja, saat kita menyerahkan diri, kita harus tunduk mengikuti sepenuhnya perintah dan menjauhi larangan-Nya sehingga, dalam keadaan demikian, kita tidak memiliki sesuatu apa pun.

Semoga bermanfaat...
Sent from BlackBerry® on 3

Tidak ada komentar: